Kalau pun bisa berharap dari bilik ekonomi — pengusaha dan bankir misalnya — toh, orientasi hidup mereka sudah lebih jelas mau cari untung sebanyak mungkin, tak perduli apakah cara kerja mereka akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Itu semua bagi mereka sekedar resiko dari suatu mekanisme pasar yang lazim dan jamak, meski sangat zalim.
Alternatif terbaik untuk menggerus dan mengikis krisis moral yang meliputi etika hingga akhlak manusia seperti itu, memang harus dibangkitkan kesadaran dan pemahaman spiritual dalam gerakan yang masif dan menyeluruh dalam skala nasional hingga internadional — antar bangsa — seperti yang telah dicanangkan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia), karena peranan bangsa-bangsa di dunia sangat besar sekali pengaruh dan andilnya bagi bangsa Indonesia.
Apalagi kemudian ada semacam keyakinan yang terlanjur dipercaya bila bangsa Barat itu memiliki banyak hal yang serba super dibanding Bangsa Timur. Padahal, dalam catatan sejarah masa silam bangsa Timur pernah menggoda birahi mereka ingin menjajah sampai hari ini di Nusantara.
Pusaka leluhur dalam laku spiritual — sebagai jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan — adalah pilihan terbaik bagi semua suku bangsa Nusantara yang beragam pula agama dan kepercayaannya, untuk bersikap tawadhuk — rendah hati, bersahaja menjalani pola hidup sederhana, tidak kemaruk, apalagi korupsi dan merampas hak orang lain — pasti dapat ditekan sebelum bisa dihilangkan sama sekali dari watak dan sikap yang ingin serba wah dan hebat dibanding orang lain. Jadi perlombaan mengejar hal-hal yang bersifat duniawi telah melampau batas yang tak berimbang dengan hal-hal yang bersifat illahi.
Maka itu jalan spiritual adalah pilihan terbaik untuk mematut diri, mengerem semua bentuk keserakanan, bukan hanya harta, tetapi juga kekuasaan yang telah memabukkan, sehingga ingin sekian periode dengan mengabaikan kesepakatan etika hukum yang telah membatasi agar tidak korup, tidak zalim.
Artinya, sikap tamak dan rakus itu tidak cuma sekedar makan dan minum atau menilep harta dan kekayaan negara yang merupakan milik rakyat, tapi juga untuk terus berkuasa tanpa batas dan tidak mengindahkan tata aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama itu.
Dan juga kemaruk yang juga bisa merangsang ingin korup.(Sumber Jacob Ereste)