NAWACITApost.com – Belakangan ini, aksi boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel menjadi sorotan di tengah konflik Jalur Gaza, Palestina. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melihat, keputusan untuk melakukan boikot tersebut sebagai hak konsumen yang patut dihormati semua pihak.
Tulus Abadi, salah satu anggota YLKI, menegaskan bahwa konsumen berhak untuk memilih produk sesuai preferensi mereka. Lebih dari sekadar kenyamanan dan keamanan, hak konsumen juga termasuk dalam memastikan bahwa produk yang mereka pilih tidak diproduksi oleh perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Contoh terkini dari China pada tahun 2021 mengenai kampanye boikot produk Nike menyoroti bagaimana konsumen menilai perusahaan tersebut melanggar HAM dengan memberikan upah buruh yang rendah. Menurut Tulus Abadi, hak konsumen melampaui batas kenyamanan belaka. Rantai pasokan produk juga harus bebas dari praktik yang melanggar hukum, seperti penghindaran pajak, pengabaian pembayaran upah buruh, dan pelanggaran HAM.
“Karena konsumen tidak hanya hak kenyamanan dan keamanan saja tapi rantai pasoknya juga harus aman,” kata Tulus, di Jakarta, dikutip Jumat (17/11/2023).
Menurutnya, aksi boikot merupakan cara konsumen menyuarakan pendapat mereka dengan menolak berkontribusi pada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tertentu. Aksi boikot, sebagai bentuk tanggung jawab konsumen, memberikan pesan yang kuat bahwa konsumen tidak ingin berpartisipasi dalam penindasan terhadap hak-hak buruh atau memberikan dukungan kepada entitas yang melanggar HAM.
“Jadi aksi boikot sebagai bentuk tanggung jawab konsumen karena kalau kita konsumsi kita ikut berkontribusi. Misalnya perusahaan tidak memperlakukan buruh dengan baik, berarti konsumen ikut berkontribusi menindas hak-hak buruh atau menyumbang kepada tentara yang melanggar HAM,” kata Tulus.
Menurut Tulus, pemboikotan bukan hanya tentang aksi menolak suatu produk, melainkan juga sebuah pesan moral yang disampaikan oleh konsumen. Mereka peduli dengan bagaimana produk dibuat, siapa yang membuatnya, dan nilai-nilai apa yang diwakilinya.
“Pilihlah produk yang memang diyakini tidak melanggar. Kalau tidak ada pilihan, tentu tidak bisa dipaksakan karena menyangkut eksistensi hak hidup konsumen sendiri. Kalau satu-satunya produk mau gimana lagi?” kata Tulus.